Jarum jam baru menunjukkan pukul 09.00, tetapi halaman Kantor Badan Koordinasi Wilayah Pamekasan di jantung Kabupaten Pamekasan dipenuhi ribuan warga. Selain itu, tampak 32 pasang sapi betina dengan kulit coklat keemasan berjalan bersisian. Sapi-sapi unggul dari berbagai penjuru Pulau Madura itu bersiap mengikuti Kontes Sapi Sonok, ajang silaturahim para pemilik sapi di Madura yang dikembangkan menjadi kontes sapi sejak tahun 1960-an.
Sonok dalam bahasa Madura adalah kata dasar dari nyonok atau menyelinap gerbang pintu. Karena setiap pasang sapi cantik itu harus menyelinap gerbang pintu di garis finis, maka jadilah kontes sapi betina itu berjuluk "sapi sonok." Kini, kontes sapi sonok digelar tahunan. Puncaknya digelar sehari sebelum lomba Kerapan Sapi Piala Presiden di gelar di Stadion Raden Soenarto, Minggu 23 Oktober besok.Seperti layaknya model yang hendak melenggang di catwalk, sapi-sapi itu didandani dengan selempang keemasan di leher serta dada. Di leher sapi juga dipasang Pangonong, yaitu kayu perangkai sapi yang diukir indah dengan perpaduan warna merah dan kuning emas.
Kegemasan atas sapi sonok itu juga terlihat dari mimik 5 orang turis asing yang berbaur di tengah arena kontes sapi sonok. Para bule itu tak segan mengelus tubuh sapi sonok. Tangan mereka terlihat memegang aneka perhiasan yang menempel di tubuh sapi sonok. Sebelum acara dimulai, beberapa pemilik sapi menari sambil menggiring sapi-sapi mereka keliling lapangan. Grup musik Saronen yang terdiri atas tiga pemain kenong, satu pemain kendang, satu pemain gong, dua pemain terompet, dan dua pemain kecer mengiringi pasangan sapi yang melenggang dengan kepala tegak bak seorang model.
Armuju (45), pemilik sapi sekaligus Ketua Paguyuban Sapi Sonok Kecamatan Batu Putih, Sumenep, menyiapkan dana Rp 1 juta untuk menyewa grup pemain Saronen. Para pemain Saronen akan mengiringi pasangan sapi milik Armuju yang bernama Lampu Wasiat.
Sekitar pukul 10.00 Kontes Sapi Sonok dimulai. Para penonton mengerumuni arena kontes berukuran 15 meter x 25 meter.
Di arena itu, pasangan sapi bergantian melenggang menuju pintu gerbang kayu yang berada di depan tiga juri.Pasangan sapi sonok yang memiliki nilai tinggi adalah sapi-sapi yang dapat melewati arena dengan langkah serasi tanpa menginjak garis lintasan. Seorang joki yang memegang tali sepanjang 7 meter mengendalikan pasangan sapi sonok agar berhenti secara bersamaan di pintu gerbang dengan posisi kaki depan menginjak kayu pintu gerbang.
Selain ketangkasan dan keanggunan sapi, postur tubuh juga menjadi kriteria penilaian. ”Sapi sonok unggul memiliki punuk besar, lingkar dada lebar, bulu ekor hitam, dan badan panjang,” kata Haji Hatib (55), seorang juri Kontes Sapi Sonok.
PERAWATAN EKSTRA
Tak seperti sapi pada umumnya, sapi sonok membutuhkan perawatan ekstra agar benar-benar menjadi sapi unggul. Sebulan sekali pemilik sapi memberikan jamu berupa adonan tepung jagung dicampur gula jawa, bawang, daun bawang, asam jawa, kelapa, dan telur. Dua kali sebulan sapi sonok juga diberi susu segar dicampur 25 butir kuning telur.
Sapi sonok dirawat ekstra sejak berumur tiga bulan. Sapi-sapi itu dilatih berdiri tegak di tempat pengikatan khusus antara pukul 15.00 dan pukul 18.00. Dengan demikian, sapi-sapi itu terbiasa berjalan dengan posisi tegak dan kelihatan anggun.
Agar kulit sapi bersih dan mengilap, Armuju, pemilik sapi sonok di Batu Putih, Sumenep, memandikan sapi-sapinya 2 kali sehari. Kandang sapi pun dijaga selalu bersih.
“Saya merawat sapi sejak mereka kecil hingga menjuarai kontes lima kali. Sapi-sapi itu sudah seperti istri saya. Mahalnya biaya perawatan sapi dan hadiah yang kami terima saat menang tak seimbang. Tapi ini adalah kebanggaan,” katanya
MENCARI BIBIT UNGGUL
Budayawan Madura, Zawawi Imron, mengatakan, tradisi sapi sonok berasal dari kebutuhan masyarakat Madura mencari bibit sapi unggul. ”Dulu, di desa-desa berkembang kebiasaan semacam arisan para pemilik sapi atau biasa disebut lotrengan. Di situ mereka berkumpul dan memamerkan sapi masing- masing. Lambat-laun kebiasaan ini berkembang menjadi Kontes Sapi Sonok,” katanya.
Menurut Zawawi, salah satu kultur masyarakat Madura adalah bercocok tanam. Karena itu, sapi sebagai hewan yang berjasa membantu pertanian tidak pernah lepas dari masyarakat.
Sapi yang dulu sekadar membantu saat bertani kini berkembang menjadi kebanggaan, gengsi, sekaligus bernilai jual tinggi. ”Karena tradisi sapi sonok, memelihara sapi kini bukan sekadar mencari kesenangan, tetapi juga menaikkan nilai ekonomis,” kata Zawawi.
Jika sapi biasa berumur empat bulan dijual dengan harga Rp 4 juta, bibit sapi sonok bisa bernilai Rp 30 juta. Bahkan, seekor sapi sonok dewasa yang telah berulang kali menang dapat memiliki nilai jual Rp 100 juta hingga Rp 125 juta.
Sampai kini tradisi sapi sonok masih berjalan di Madura. Melalui tradisi ini pula, sapi-sapi unggul Madura memiliki nilai tawar lebih tinggi ketimbang sapi-sapi pada umumnya.
Di tengah kondisi geografis Pulau Madura yang kering dan tandus, masyarakat tetap bisa menghasilkan sapi-sapi sonok berkualitas tinggi. Salah satu pemicunya adalah tradisi sapi sonok yang terbukti mampu mengangkat harkat sapi Madura.
Sekitar pukul 10.00 Kontes Sapi Sonok dimulai. Para penonton mengerumuni arena kontes berukuran 15 meter x 25 meter.
Di arena itu, pasangan sapi bergantian melenggang menuju pintu gerbang kayu yang berada di depan tiga juri.Pasangan sapi sonok yang memiliki nilai tinggi adalah sapi-sapi yang dapat melewati arena dengan langkah serasi tanpa menginjak garis lintasan. Seorang joki yang memegang tali sepanjang 7 meter mengendalikan pasangan sapi sonok agar berhenti secara bersamaan di pintu gerbang dengan posisi kaki depan menginjak kayu pintu gerbang.
Selain ketangkasan dan keanggunan sapi, postur tubuh juga menjadi kriteria penilaian. ”Sapi sonok unggul memiliki punuk besar, lingkar dada lebar, bulu ekor hitam, dan badan panjang,” kata Haji Hatib (55), seorang juri Kontes Sapi Sonok.
PERAWATAN EKSTRA
Tak seperti sapi pada umumnya, sapi sonok membutuhkan perawatan ekstra agar benar-benar menjadi sapi unggul. Sebulan sekali pemilik sapi memberikan jamu berupa adonan tepung jagung dicampur gula jawa, bawang, daun bawang, asam jawa, kelapa, dan telur. Dua kali sebulan sapi sonok juga diberi susu segar dicampur 25 butir kuning telur.
Sapi sonok dirawat ekstra sejak berumur tiga bulan. Sapi-sapi itu dilatih berdiri tegak di tempat pengikatan khusus antara pukul 15.00 dan pukul 18.00. Dengan demikian, sapi-sapi itu terbiasa berjalan dengan posisi tegak dan kelihatan anggun.
Agar kulit sapi bersih dan mengilap, Armuju, pemilik sapi sonok di Batu Putih, Sumenep, memandikan sapi-sapinya 2 kali sehari. Kandang sapi pun dijaga selalu bersih.
“Saya merawat sapi sejak mereka kecil hingga menjuarai kontes lima kali. Sapi-sapi itu sudah seperti istri saya. Mahalnya biaya perawatan sapi dan hadiah yang kami terima saat menang tak seimbang. Tapi ini adalah kebanggaan,” katanya
MENCARI BIBIT UNGGUL
Budayawan Madura, Zawawi Imron, mengatakan, tradisi sapi sonok berasal dari kebutuhan masyarakat Madura mencari bibit sapi unggul. ”Dulu, di desa-desa berkembang kebiasaan semacam arisan para pemilik sapi atau biasa disebut lotrengan. Di situ mereka berkumpul dan memamerkan sapi masing- masing. Lambat-laun kebiasaan ini berkembang menjadi Kontes Sapi Sonok,” katanya.
Menurut Zawawi, salah satu kultur masyarakat Madura adalah bercocok tanam. Karena itu, sapi sebagai hewan yang berjasa membantu pertanian tidak pernah lepas dari masyarakat.
Sapi yang dulu sekadar membantu saat bertani kini berkembang menjadi kebanggaan, gengsi, sekaligus bernilai jual tinggi. ”Karena tradisi sapi sonok, memelihara sapi kini bukan sekadar mencari kesenangan, tetapi juga menaikkan nilai ekonomis,” kata Zawawi.
Jika sapi biasa berumur empat bulan dijual dengan harga Rp 4 juta, bibit sapi sonok bisa bernilai Rp 30 juta. Bahkan, seekor sapi sonok dewasa yang telah berulang kali menang dapat memiliki nilai jual Rp 100 juta hingga Rp 125 juta.
Sampai kini tradisi sapi sonok masih berjalan di Madura. Melalui tradisi ini pula, sapi-sapi unggul Madura memiliki nilai tawar lebih tinggi ketimbang sapi-sapi pada umumnya.
Di tengah kondisi geografis Pulau Madura yang kering dan tandus, masyarakat tetap bisa menghasilkan sapi-sapi sonok berkualitas tinggi. Salah satu pemicunya adalah tradisi sapi sonok yang terbukti mampu mengangkat harkat sapi Madura.
unik ya tradisinya, love indonesia :D
BalasHapus@cnatasya : love indonesia too :D
BalasHapus